Kamis, 12 Januari 2012

KEPERGIAN "ALEX SUPALI"


42 Tahun Ludruk Karya Budaya Mojokerto | 29 Mei 1969 - 29 Mei 2011




Dunia ludruk di Jawa Timur sedang beduka. Salah satu maestro lawak, musisi, komposer musik –gamelan- telah berpulang untuk selamanya. Bambang Supali, atau akrab dipanggil Cak Alex Supali yang telah lebih dari tiga puluh tahun menemani lika-liku perjalanan ludruk di Jawa Timur itu kini harus paripurna diusianya yang ke 49 tahun. Ia kalah bergelut dengan sakit liver dan gagal ginjal yang dideranya. Menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Gatoel, Kota Mojokerto pada Rabu (04/01/2012) sekitar pukul 11.39 WIB. Namanya sejajar dengan maestro ludruk lainnya seperti Kartolo, Sapari, Umi Kalsum, Sidik dan Agus Kuprit. Namun berbeda dari para seniornya itu, Supali berjuang bukan lewat jalur rekaman kaset komersial. Ia justru dengan teguh menziarahkan hidupnya untuk dibesarkan dari panggung ludruk tobong, berpentas dari satu pintu rumah ke rumah yang lain. Tak hanya itu, di balik kelihaiannya dalam mengocok perut masyarakat, Supali adalah musisi dan komposer musik yang handal. Tak kurang 50 lagu campursari dan konser gamelan untuk ludruk telah diciptakannya. Salah satu karyanya yang paling monumental dan hingga detik ini masih membahana di pangung-panggung musik gamelan Nusantara adalah ‘sambel kemangi’. Tak ada satupun seniman musik tradisi, kritikus gamelan dan dalang yang tak mengenal lagu itu. Supali adalah seniman kondang yang lahir dari pekatnya semangat akar rumput seni tradisi di Jawa Timur.

Perjuangan Karya Budaya
Ludruk dalam percaturan seni tradisi Nusantara telah dianggap sebagai medan yang mengalami kebangkrutan eksistensi. Ia tak lagi mampu menampakkan jati dirinya secara lebih terbuka. Kalah bersaing dengan media hiburan yang lebih glamour dan populis, setiap saat menyapa kita lewat layar kaca. Namun, ludruk tak juga direlakan begitu saja untuk mati. Ia masih “dipelihara” karena dianggap sebagai ruang yang mampu mempresentasikan basis performa karakter kebudayaan Jawa Timur. Sejarah Jawa Timur adalah sejarah ludruk. Lewat lakon-lakon cerita yang dibawakan, ludruk telah mampu mengurai dengan tajam legitimasi prinsip hidup, prilaku dan sikap masyarakat Jawa Timur. Lihatlah bagaimana Sakerah, Sarip Tambak Yoso, Untung Suropati, menjadi pokok tema cerita utama yang berusaha menarasikan semangat militansi perjuangan melawan ketertindasan. Ludruk menjadi katalisator ideal dalam meneriakkan jati diri masyarakat Jawa Timur, hingga Gondo Durasim harus meregang nyawanya karena dianggap pemberontak oleh penjajah Jepang lewat lirik kritis kidungan ludruknya. Dengan demikian, melihat ludruk adalah melihat Jawa Timur.
Bukan satu hal yang aneh jika di era milenium kini kehidupan ludruk semakin tertepikan. Namun uniknya, di saat banyak kelompok ludruk saling silih berganti untuk tumbang dan lalu mati, Ludruk Karya Budaya Mojokerto (LKBM) justru mampu menunjukkan supremasi kejayaan hidupnya. Tak lain karena didukung oleh pelaku dan pemain serta manajemen yang profesional. Ludruk yang didirikan oleh Cak Bantu (sekarang dipimpin anaknya, Edy Eko Susanto) pada tahun 1969 itu kini menjadi ludruk tertua di Jawa Timur yang masih dan mampu bertahan bahkan paling eksis. LKBM menjadi rujukan penelitian oleh berbagai kalangan intelektual kebudayaan baik di Nusantara maupun dunia. Darinya terlahir laboratorium seni pertunjukan yang mengutamakan kualitas konsep dan proses sebagai pijakan dalam setiap rentang pertunjukannya. Tak heran jika kemudian LKBM dilarang keras tampil di setiap perlombaan ludruk di Jawa Timur karena berlarut-larut selalu saja menggondol titel juara. Ia menjadi ludruk panutan, rumah idaman bagi setiap pelaku ludruk Jawa Timur.
Supali menjadi faktor penting di balik besarnya gaung LKBM. Berbicara LKBM berarti berbicara tentang Supali. Darinya senantiasa memunculkan rangkaian kejutan yang selama ini mandul dimiliki oleh kelompok ludruk lain. Sebut saja misalnya nuansa dagelan serta drama yang secara khusus menggunakan gending-gending karyanya. Ia menjadi maestro lawak, yang namanya tidak semata mampu untuk disandingkan dengan tokoh-tokoh ludruk lainnya, namun juga abadi di hati masyarakat pecinta ludruk Jawa Timur.

Akar Rumput
Supali hingga denyut akhir hidupnya masih mempersembahkan segala dayanya untuk ludruk. Dalam dilema sakit yang dideranya, ia masih berpentas melayani masyarakat di Malang (23 Desember 2011) walau harus tertatih-tatih menahan lara. Ia tak hanya hidup untuk ludruk tapi juga menghidupi ludruk. Kesehajaan hidupnya telah mampu menarik hati masyarakat dan birokrat untuk terlibat langsung dalam garis kariernya. Menjadi bintang tamu dan pembawa acara hiburan di TVRI dan tivi-tivi serta radio lokal Jawa Timur sudah kenyang dijalaninya. Ia senantiasa ditunggu dan kemunculannya dielu-elukan. Wilayah Jawa Timur telah dijajahnya. Ludruk telah bangkit dan hidup kembali olehnya. Kebolehan bermain dan melawak telah manarik beribu mata. Lihatlah, tak kurang dari seribu orang senantiasa hadir dalam setiap pentas ludruknya. Hal yang mencengangkan untuk sebuah pentas seni tradisi yang saat ini dianggap oleh banyak kalangan ‘kolot’ dan ‘kuno’. Oleh karena keunikan itulah forum studi kebudayaan Musik (Etnomusikologi) di Jurusan Etnomusikologi ISI Surakarta pada tahun 2008 menjadikan LKBM lewat Supali sebagai kelompok seni tradisi percontohan kerja studi, sekaligus menjadi rujukan penelitian.
Namun Supali tak jua sombong. Masih tetap sahaja dan santun pada siapapun, sadar bahwa ia hidup dan dihidupi oleh masyarakat. Supali menjadi palang pintu pemecah kebuntuan dalam nalar hidup yang semakin distorsi oleh himpitan ekonomi, politik dan hukum yang tak lagi berpihak bagi masyarakat kecil. Supali bak Sinterklas, memberi hadiah berupa tawa dan senyum, melupakan derita masalah walau sesaat. Kepergiannya tak hanya meninggalkan kesedihan yang mendalam bagi masyarakat pecinta ludruk, namun juga menjadi lubang kekhawatiran yang dalam bagi perkembangan ludruk Jawa Timur ke depan. Sosoknya belum tergantikan. Wajar saja, karena regenerasi berjalan begitu timpang. Siapa dan generasi muda mana yang rela menggantungkan hidupnya sebagai pemain dan pelawak ludruk layaknya Alex Supali? Padahal bukankah waktu telah membuktikan bahwa kualitas peradaban suatu masyarakat terletak pada seberapa besar mereka menghargai seni tradisinya? Bibit-bibit baru pelaku ludruk tidak cukup dengan hanya ditunggu kemunculannya, namun juga ‘diciptakan’ lewat berbagi forum dan ruang-ruang kebudayaan.

Supali memang telah tiada, namun semoga semangat dan militansi perjuangannya dalam dunia ludruk di Jawa Timur dapat diapresiasi secara lebih dalam. Menempatkan namanya sebagai ‘tokoh pejuang ludruk’, tonggak panutan bagi generasi seniman ludruk saat ini dan yang akan datang. Selamat jalan Cak Supali....sambutlah kini kehidupan baru lewat gemerincing merdu bunyi-bunyian surgawimu.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar